Ahli, Penilai Ahli dan Profesi Insinyur dalam Tipikor

Jembatan Pancasila Palmerah. (Foto: Istimewa)

KUPANG, RANAKANEWS.com – Kita sering mendengar istilah Ahli dalam berbagai profesi di masyarakat kita.

Menurut KBBI ( kamus besar bahasa Indonesia ), Ahli adalah orang yang mahir, paham sekali dalam suatu ilmu (kepandaian); mahir benar dalam menjalankan sesuatu. Artinya seseorang dikatakan Ahli karena dia mahir menjalankan profesinya.

Misalnya Ahli Bangunan; orang yang mahir dalam profesinya mengerjakan bangunan, Ahli Struktur Bangunan: orang yang mahir mengerjakan struktur konstruksi.

Dokter Ahli; orang yang mahir menjalankan profesi dokter dalam spesisialisasi tertentu dan berbagai ahli – ahli lainnya.

“Untuk menjadi seorang Ahli, seseorang harus melalui berbagai tahapan proses, mulai dari pelatihan dan serangkaian uji kompetensi keahlian atau assesment oleh Lembaga Sertifikasi Profesi ( LSP ) yang didirikan oleh Asosiasi Profesi Terakreditasi sesuai bidang dan kriteria keahliannya( UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan),” ungkap Ketua Pusat Study Jasa Konstruksi UCB  Kupang dalam rilis yang diterima ranakanews.com, Minggu (5/5/2024).

Lanjut Andre mengatakan, Setelah diuji kompetensinya, dia mendapatkan pengakuan sebagai ahli dalam bentuk Sertifikat Keahlian dan Kompetensi ( Peppres 8 /2012 Tentang KKNI / Kerangka Kwalifikasi Nasional Indonesia ).

“Sering ditemui Para Ahli ( atau orang yang mengaku Ahli ) diminta bersaksi dalam sebuah perkara atau sengketa di pengadilan untuk membuat terang suatu peristiwa hukum. Para tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya.
Mengutip Pasal 1 angka 28 KUHAP, keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan,” terang Dekan FT UCB – Kupang itu.

Dikatakan Andre, Dalam perkara pidana, keterangan ahli diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa alat bukti yang ssah dalam pengadilan pidana salah satunya adalah keterangan ahli.
Oleh karena itu keterangan ahli bisa saja mempengaruhi keyakinan hakim dalam memutuskan perkara , walau kadang bisa juga keterangan ahli dikesampingkan berdasarkan alasan yang jelas.

Namun apapun keputusan hakim, keterangan ahli tetap penting dalam menilai dan memutuskan suatu peristiwa hukum.
Beberapa peristiwa hukum Tipikor khususnya yang berkaitan dengan pembangunan jasa konstruksi ( pembangunan jalan , jembatan , embung , bendungan , jaringan irigasi, bangunan gedung, air minum , perumahan dll ), Jaksa Penuntut Umum, dalam dakwaannya kerap mendalilkan Perbuatan Melawan Hukum ( PMH ) yang diduga dilakukan tersangka yang mengakibatkan kerugian keuangan negara , terutama dalam menghitung besaran kerugian negara seperti ; kekurangan volume , kerusakan dini , kwalitas pekerjaan buruk , tidak tepat waktu dan sasaran ,sehingga terjadi kegagalan bangunan dan mengakibatkan total lost dan menjadi perbuatan korupsi , sering mengacu pada keterangan ahli.

“Yang jarang diketahui publik termasuk para penegak hukum adalah keberadaan seorang Penilai Ahli yang berdasarkan UU No. 2 / 2017 Tentang Jasa Kostruksi Pasal 60 ayat 2 dan 3 : adalah orang perseorangan, kelompok, atau lembaga yang diberikan kewenangan oleh Menteri untuk melakukan penilaian dalam hal terjadi Kegagalan Bangunan,” kata Ketua Persatuan Insinyur Indonesia Wilayah NTT itu.

Syarat untuk menjadi Penilai Ahli adalah memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja pada jabatan ahli utama atau jenjang 9 (sembilan), dan/atau insinyur profesional utama dan/atau memiliki pengalaman di bidang Jasa Konstruksi paling sedikit 15 (lima belas) tahun.

Sedangkan pelatihan untuk menjadi Penilai Ahli tercantum dalam Lampiran I  Peraturan Menteri PUPR Nomor 8 Tahun 2021 Tahun 2021 Tentang Penilai Ahli,Kegagalan Bangunan, Dan Penilaian Kegagalan Bangunan.
Artinya Penilai Ahli menurut UU Jasa Konstruksi adalah orang yang sudah dinilai memiliki keahlian khusus dibandingkan seorang Ahli saja, seperti yang selama ini dipahami publik , karena walaupun punya sertifikat keahlian tertentu, sudah berpengalaman lebih dari 15 tahun , dia mesti menjalani rangkaian pelatihan dan uji kompetensi lagi untuk menjadi Penilai Ahli.

Dalam berpraktik- pun , sebagai Penilai Ahli dapat dituditugaskan atas permintaan Pengelola Anggaran , untuk menilai suatu kondisi pekerjaan konstruksi yang mengalami masalah teknis , itupun harus mendapatkan penugasan Menteri terlebih dahulu , dalam hal ini menteri PUPR melalui Lembaga Pengembagan Jasa Konstruksi ( LPJK / sebuah lembaga Non Struktural dibawah Kementrian PUPR).

Hal lain yang perlu juga dipahami adalah profesi insinyur , seringkali terjadi salah kaprah dan kadang di salah gunakan , misalnya seorang Sarjana Teknik ( ST ) dianggap juga sudah menjadi seorang insinyur . Padahal berdasarkan UU 11/ 2014 Tentang Keinsinyuran , untuk menjadi seorang insinyur profesional, seorang Sarjana Teknik ( ST ) harus melanjutkan ke Pendidikan Profesi Insinyur ( PPI ) sebelum dinyatakan sebagai Insinyur Profesional Muda , Madya atau Utama dst.

Dalam berpraktik insinyur , seorang insinyur profesional wajib menjunjung tinggi nilai- nilai etika profesinya sebagai insinyur profesional antara lain :
mengutamakan keluhuran budi , bersikap jujur , bekerja sesuai kompetensinya dan tidak melakukan perbuatan yang mengelabui demi menjaga marwah , harkat dan martabat seorang insinyur.
Dari uraian diatas, menjadi jelas bahwa terdapat perbedaan mendasar antara seorang Ahli dan Penilai Ahli.
Demikian pula seseorang yang berprofesi Insinyur , terutama dalam perilakunya saat berpraktik sebagai seorang Insinyur Profesional.

“Jika kita sepakat bahwa proses peradilan adalah proses mencari keadilan, bukan mencari kebenaran ( karena kebenaran sejati hanya milik Tuhan) , dimana warga negara yang diduga melakukan Perbuatan Melawan Hukum ( PMH ) disatu sisi dan Aparat Penegak Hukum Negara ( APH ) disisi lain.

Maka untuk menemukan titik keadilan yang seadil- adilnya , hendaknya para pihak yang berperkara dan hakim yang memutuskan perkara Tipikor khususnya di dunia jasa konstruksi , hendaknya tidak mengabaikan berbagai regulasi yang ada di sekitar peristiwa hukum yang diperkarakan , apalagi jika keterangan Ahli maupun Penilai Ahli dalam amar putusannya, hakim cenderung mengabaikan begitu saja tanpa alasan yang jelas.

Dengan ini diharapkan para APH dapat memahami dan membedakan apa itu Ahli yang memberi keterangan ahli , apa itu Penilai Ahli yang menilai suatu keadaan atau kondisi bangunan sesuai kompetensi keahlian yang dia miliki.,” tandas Andre.

Demikian pula bagi para Insinyur Profesional , wajib menjaga harkat dan martabat profesinya , sehingga tidak berkontribusi terjadinya peradilan sesat.

Pada kenyataannya , sering ditemukan dakwaan yang dipakai JPU “ hanya “ berdasarkan keterangan Ahli , padahal perkara yang didakwakan di sektor Jasa Konstruksi. Artinya sejak APH “ mengendus “ adanya PMH entah karena pengaduan masyarakat atau berita media , dan mulai melibatkan Ahli, Maka si Ahli apalagi dia Insinyur Profesional , wajib memberi tahu APH, bahwa hal tersebut masuk dalam ranah Penilai Ahli, untuk melakukan “ forensik engeneering,” bukan dia sebagai Ahli , apalagi sampai menjadi auditor untuk menghitung kerugian negara.

Namun patut disayangkan, seringkali keterangannya justeru menjerat para tersangka dengan pasal korupsi , padahal itu bukan kompetensi dia untuk menilai.

Jika dia adalah seorang Insinyur Profesional bersertifikat , dia tahu namun dia tidak mempraktekkannya, apalgi jika dia pura- pura tidak tahu , artinya dia niatkan untuk mengelabui para pihak , maka dia dinilai telah melanggar etika profesi insinyur.

Dia layak mendapakan sanksi dari asosiasi profesi dimana dia bernaung dan tidak layak menyandang gelar Insinyur Profesional.
Dan jika ada putusan hukum yang didasari pada keterangan ahli dari yang bukan Ahli, dan juga tidak sesuai kompetensinya sehingga cacat prosedural, namun justeru merugikan terdakwa , maka titik keadilan yang ingin dicapai dalam mencari keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, adalah sebuah malapetaka peradilan.

Bukankah adagium hukum mengatakan, lebih baik melepaskan seribu penjahat dari pada menghukum satu orang yang tidak bersalah.? (TD)

error: Konten dilindungi!