Pemprov NTT: Warga Jangan Memelintir Peristiwa Konflik Lahan di Pubabu Besipae

Plt. Kepala Badan Pendapatan dan Aset Daerah, Alex Lumba, SH (tengah) saat memberikan keterangan pers di Kantor Gubernur NTT, Sabtu (22/10/.2022). (Foto: Istimewa)

KUPANG, RANAKANEWS.com- Pemerintah Provinsi (Pemprov)  Nusa Tenggara Timur (NTT) mengimbau warga agar jangan memelintir peristiwa konflik lahan di Pubabu Besipae, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), dengan menempatkan pemerintah sebagai pelaku yang melakukan kekerasan terhadap warga.

Hal tersebut disampaikan Plt.Kepala Badan Pendapatan dan Aset Provinsi NTT, Alex Lumba, SH.,didampingi Plt. Sekda NTT, Yohana Lisapaly, Kepala Biro Hukum  Setda NTT, Oder Maks Sombu, dan Kepala Dinas PUPR NTT, Maksi Nenabu kepada awak media di Kantor Gubernur, Sabtu (22/10/2022), terkait tanggapan pemerintah provinsi terhadap konflik lahan yang kembali terjadi di Pubabu Besipae.

“Kami mengimbau supaya masyarakat tidak memelintir kejadian yang ada, atau kemudian mengedit video seolah-seolah pemerintah melakukan kekerasan terhadap warga,” kata Alex.

Pemerintah provinsi, lanjut Alex meminta semua elemen untuk menempatkan peristiwa atau insiden di Pubabu Besipae secara proporsional, karena itu pihaknya juga mengundang media massa agar bisa menyampaikan informasi yang berimbang.

Pemprov NTT menyebut kejadian di Besipae Desa Linamnutu, Kecamatan Amanuban Selatan Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) adalah penertiban.

Kamis 20 Oktober 2022, Pemprov melakukan penertiban pada sejumlah bangunan rumah di kawasan Besipae. Rumah yang ditempati warga itu merupakan bangunan yang dikerjakan Pemprov tahun 2020 lalu.

Alex Lumba menjelaskan, tahun 2020 lewat kebijakan Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat maka dibangunlah rumah bagi warga setempat. Rumah itu dibangun dan mengidentifikasi okupan atau warga setempat agar menempati rumah tersebut.

Namun, kata Alex, rumah itu enggan ditempati karena tidak layak. 37 kepala keluarga (KK) yang berada di tempat itu, di tahun 2020 disiapkan lahan sebagai tempat tinggal dan bekerja. Lahan itu disiapkan oleh Usif Nabuasa.

“Karena Usif Nabuasa merasa bahwa lokasi itu sudah diserahkan dan itu milik pemerintah provinsi. Jadi diserahkan untuk warga diluar lokasi itu,” sebutnya.

Pemprov, lanjut Alex, menyerahkan kunci rumah yang telah dibangun kepada pihak kecamatan dan Polsek. Harapannya agar warga yang datang kembali bisa diberi dan bisa menempati rumah tersebut.  Alex menyebut, warga datang dengan diam merusak kunci rumah kemudian menempati rumah tersebut.

Ia mengaku, pembongkaran rumah itu bertujuan agar ada pemanfaatan lahan secara utuh untuk program pemerintah. Langkah itu menurutnya sebagai bentuk penertiban aset.

Ia menambahkan, pembangunan rumah yang ada merupakan kebijakan Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat di tahun 2020 lalu. Dengan penertiban sekarang ini, maka pihaknya akan melapor ke pimpinan agar mendapat arahan, termaksuk perhatian bagi warga yang ada.

Disamping itu, Alex mengaku, akan melakukan komunikasi kepada Usif Nabuasa. Koordinasi itu untuk mendapat informasi apakah ada pemberian tanah bagi para okupan atau tidak. “Karena waktu itu Usif Nabuasa mau menyerahkan tapi okupan tidak mau,” kata Alex.

Pemprov mengklaim, hubungan dengan para Usif atau tokoh setempat sangat baik. Menurutnya, tahun 1982 ketika tanah itu serahkan maka sudah sah menjadi kepemilikan Pemprov, yang didukung dengan bukti kepemilikan.

Dia mengaku, berbagai program yang dikerjakan Pemerintah juga turut melibatkan masyarakat. Namun, segelintir orang justru melakukan aksi berlawanan dan menolak pengembangan dilokasi tersebut.

“Maka atas perintah, badan aset kemudian melakukan penertiban maupun membongkar kembali rumah-rumah yang dibangun oleh pemerintah dan rumah masyarakat didalam tanah Pemerintah. Karena kita anggap itu bangunan liar dan ilegal,” jelasnya.

Alex juga menjelaskan tentang  kronologi penyerahan tanah tersebut. Tanah diserahkan oleh Usif Nabuasa kepada pemerintah provinsi NTT pada tahun 1982. Saat itu dikeluarkan surat pernyataan penyerahan kawasan Besipae yang diserahkan Usif Nabuasa Meu dan Meo Besi beserta aparat pemerintahan lima desa di Kawasan tersebut.

“Kenapa itu diserahkan karena ada kerjasama pemerintah Provinsi NTT saat itu dengan pemerintah Australia untuk pengembangan ternak sapi,” sebutnya.

Atas dasar kerjasama itu maka pada tahun 1983 dikeluarkan dokumen tentang lahan 3.780 hektare atas nama Dinas Peternakan Daerah Tingkat I NTT. Selanjutnya pada tanggal 30 Januari 1986 diterbitkan sertifikat hak pakai nomor 1 tahun 1986 dengan nomor  registrasi A. 1390477 seluas 3. 780 hektare.

Namun dalam waktu berjalan sertifikat itu hilang sehingga tidak dapat ditelusuri. Pada tanggal 28 Mei 2012 Tim Terpadu Penyelesaian Lokasi Pembibitan Ternak Sapi di Besipae sesuai surat Gubernur melakukan pengurusan sertifikat yang hilang di kantor pertanahan TTS. Selanjutnya pada tanggal 19 Maret 2013 terbit sertifikat pengganti nomor BP. 794953 Tahun 2013,” jelasnya. (TD)

error: Konten dilindungi!
Exit mobile version